Sabtu, 13 Agustus 2011

Sapaan Hati (Prolog)

Prolog

Ini hanyalah cerita klasik. Yang kurangkum sendiri dalam massa hidupku, dalam kurun massa sehatku. Kisahku dengan keluarga, dengan sahabat, dan dengan seseorang yang telah berhasil membawa jiwaku pergi, dipenjarakan didalam hatinya. Dalamnya aku menjerit ingin lepas, bukan karena jengah, aku hanya tak ingin terlalu berhutang banyak padanya. Namun yang kudapat, hanya kasih sayang nya yang seakan tak pernah luntur padaku. Meski keinginan hati meronta-ronta, tetapi tak bisa kupungkiri bahwa aku bahagia, meski kini tak sempurna.

Dalam diam aku memperhatikannya. Setiap lekuk indah wajahnya, setiap aroma tubuhnya, berapa banyak keringat yang menetes pada pelipisnya, dan seberapa besar cintanya padaku, meskipun untuk hal ini, aku tak dapat melihatnya, karena ini sungguh tak kasat mata.

Dalam diam aku, berdoa. Mengalunkan sederet kata yang sarat akan pinta yang tersuguh didalamnya. Dalam diam aku bersyukur telah bisa memilikinya, meski kutahu ini tak akan lama. Dalam diam ........

Dalam diam... bukankah hanya itu yang aku bisa, saat ini?

Indah nya alam yang terlukis saat ini, tak dapat ku gambarkan, tak dapat ku tafsirkan, hanya dapat kurasakan, dan tanpa dapat berbagi terhadap apa yang kurasa. Disini, saat angin masih terasa sejuk, dibawah komando sang matahari, yang hari ini turut menyambutku dengan gagahnya. Aku yang terduduk tak berdaya, pada sebuah kursi mekanik, rangkaian dari besi dan bahan-bahan yang tak ku ketahui jenisnya. Aku bisa melihat, bagaimana laki-laki disampingku kini tengah memperhatikan wajahku. Entah untuk apa. Ingin sekali aku tersenyum karena tingkahnya ini. Tapi tak bisa. Aku harap ia tahu kalau kali ini aku tengah tersenyum karenanya.

“Kamu pasti lagi senyum, sekarang. Iya kan?”

Roda di otakku seakan berputar menjelma menjadi sederetan film yang telah siap di putar. Dalam kategori masa lalu. Dan dalam arti sebuah masa kejayaan. Masa dimana raga ini masih dapat bergerak dengan eloknya. Tetapi bukankah masa bisa berakhir?
           
Dan inilah awal dari masa terkahirku...

Sapaan Hati

Getaran halus ini terus berpacu
Dalam diri terasa menggebu
Dalam angan terasa nyata
Dan ini bukan impian

Aku bisa menemukanmu
Tersenyum dari celah hatiku
Kucoba balas lambaian tanganmu
Kutarik, lalu engkau merengkuhku

Dalam ini, aku bahagia
Karenanya...
Karena sapaan hatimu
Karena cintamu, yang baru kau lepas untuk ku tangkap

Sabtu, 02 Juli 2011

Tak Mungkin Ku melepasmu (cerpen)


Tentang sesuatu yang berbeda
Tetapi, sungguh terasa sama
Dialah Cinta..........

 *
 Huh... hari ini benar-benar sial bagiku. Kalian tanya kenapa ? Pertama, tadi pagi aku tidak jadi sarapan gara-gara, Gabriel menjemputku terlalu pagi untuk alasan yang cukup jelas (menghindari macet, karena saat itu presiden akan melewati  jalan yang biasa kami lewati). Kedua,  saat istirahat pertama disekolah Gabriel  membuatku kembali kesal. Ia bersikap sangat kekanak-kanakan. Tidak mau kalah. Bayangkan saja, ia tidak mau meminjamkan PSP miliknya padaku, dan lebih memilih memainkannya sendiri, Ketiga,uang jajanku tertinggal di rumah. Itu berarti aku tidak membawa uang ‘se-perak-pun’. Yah... meskipun hari ini jadwal, Gabriel mentraktirku makan siang di kantin sekolah. Aneh ya?

*
             
Setelah dirasa cukup jelas, mencak-mencak tak jelas di kamar, aku berniat membersihkan diri dengan air Pam yang sampa saat ini, aku belum mengerti juga bagaimana air ini bisa sampai di kamarku yang jelas-jelas berada di lantai 2. Bukankah air mengalir dari hilir ke udik? Bukan dari bawah ke atas??? Ahh... jadi ketahuan kan kalau, aku termasuk golongan anak kurang pandai di sekolah.
           
Ku urungkan niatku untuk mandi, saat Handphone ku berteriak-teriak tak jelas dari atas meja. Ringtone-nya masih nada kucing kejepit, belum sempat ku ganti. Heheheh
                      
“Hallo..” Ucapku pada sang penelfon yang ternyata pacarku. Gabriel.
                      
“Hallo kanya...”
                     
 “Apa?” Tanyaku pura-pura cuek
                    
“Ihh.. masih marahya! Gak asik ah.. pasti mukanya sekarang jelek”
            
 Huh... dasar anak ini, benar-benar tidak romantis. Selalu saja memancingku untuk bardebat dengan nya. Dia sengaja atau apa sih?! Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar. Biasa ritual untuk mulai berdebat dengan setan satu ini.
                     
 “Ih, apa deh.. Udah ah aku mau mandi”
                    
“Hehehe... sorry, sayang” Ucapnya disela-sela kekehannya “Kamu pasti Tambah cantik, kan mau mandi.. jadi seksi gitu”
                      
“Ahh.. Apa-apaan sih, Gab? Kamu pilih sepatu atau sendal?! Besok aku lempar ke muka kamu”
                    
“Heheh.. gak perlu kany..aku pilih puding bikinan mama kamu aja..buat nanti malam nonton liverpool di rumah Aldo. Oh...iya, kamu ikut ya ! Please...”
             
Mendengar nada bicara Gabriel yang ‘sedikit’ memelas, aku berfikir tidak salah juga aku menemani pacarku. Dia juga bilang kalau Messa dan Valen ada di sana. Yah, ku putuskan untuk menjawab ‘iya’

*
           
Saat ini, aku sedang berada didalam Vios silver yang dibawa Gabriel. Sejak kapan anak ini memiliki mobil? Setelah setengah perjalanan berada dalam suasana hening, Aku memberanikan diri untuk mengangkat pembicaraan. Karena sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau Gabriel akan bicara. Huh... selalu saja begitu
             
“Ehm, Gab. Kok tumben pake mobil? Terus sejak kapan kamu punya mobil?” Tanyaku sambil menatap , Gabruel yang sedang menyetir. Astaga, kenapa aku baru sadar kalau dia ini sungguh tampan. Seketika mataku berhenti berkedip, saat Gabriel membalas tatapanku lalu tersenyum lebar.
             
“mmm... udah lama sih aku punya mobil, Cuma jarang di pake aja. Lagian enakan pake motor, soalnya bisa di peluk, kamu. Tapi, aku gak egois dong, inikan udah malem. Takut kamu kedinginan ya udah pake mobil aja. Rugi sih gak di peluk kamu. Heheh..”
             
Aku melemparnya dengan tas kecil yang sengaja kubawa. Di merintih kesakitan. Huh emang enak! “jangan macem-macem sama aku ya, Gab” Ucap ku dengan sangar, sambil mengacungkan sebuah kepalan tangan
             
Suasana kembali hening. Mataku terus menerawang keluar jendela. Tiba-tiba terdengar alunan musik didalam mobil. Tepat di bagian Reffren, Aku mulai mengenali bahwa rangkaian nada ini adalah lagu dari Dygta Featuring Andin yang kalau tag salah, judulnya ‘Tak Mungkin Ku Melepasmu’. Saat tangan ku mulai terayun untuk menggapai tobol volume pada DVD di mobil Gabriel. Ada sentuhan hangat yang menyentuh lenganku. Sangat lembut. Namun sentuhan hangat dan lembut itu kini tak lagi kurasakan yang kurasakan adalah tanganku di hempas. Dan Tiit.. Alunan suara merdu tadi lenyap.
           
“Jangan dengerin lagu itu. Aku gak suka”

*
           
Seperti biasa Rumah Aldo selalu sepi, mungkin karena dia anak tunggal. Tapi untuk alasan yang lainnya jelas aku tiak tau.
             
“Nah, ini dia The Best Couple udah muncul. Dari mana aja kalian?” Ujar Aldo
            
 “Sorry jadi pada nunggu lama. Belum mulaikan, Bolanya?” Jawabku seperti biasa –ngeles padahal tadi aku yang dandan kelamaan-
             
Kami lantas memasuki rumah Aldo. Aku bisa melihat Valen sedang memainkan barang keramat – PSP -  pacarnya. Siapa lagi kalu bukan Aldo. Ahh aku sampai bingunng mengapa ketiga lelaki itu –Gabriel, Rian, Aldo- sangat mengeramatkan PSP mereka masing-masing.
             
 Aku beranjak memasuki Dapur untuk meletakan Puding buatan Mamaku kedalam piring tatakan. Tak kusangka ternyata disana ada Gabriel yang sedang... menunggu! Siapa? Aku ? “Eh, Gab? Kok?” Tanyaku keheranan
             
“apa?  Aku ngagetin kamu?”  Tanya nya dingin.
             
“Enggak, muka kamu kan gak jelek-jelek amat jadi aku gak terlalu kaget” Ucapku sekenanya dan sukses mendapat timpukan dari Gabriel. Sakit sih, soalnya dia timpukin aku pake kunci mobil.
            
 Perlahan ia mendekatiku, Dan terus mendekat dan...
           
Cupp
             
Ciumannya mendarat di pipi kananku. Huh, hampir saja. “Jangan tinggalin aku” sebuah bisikan lembut terdenag di telinaga ku. Apa maksud perkataan Gabriel? Memangnya aku mau kemana? Setelah aku sadari ternyata Gabriel sudah tidak ada.
             
“Dasar ..” Umpatku kesal

*
             
“Go Go Go Tores.. Go Go Fernando Tores” teriak ku gaje saat babak satu dari  pertandingan sepakbola antara Liverfool dan Menchester City baru di mulai.
             
“Kany, kalau gak tau gak usah  ngomong deh, jelas-jelas Tores udah pindah Club. Jangan ngada-ngada deh. Malu-maluin tau” Ucap Gabriel.
             
Deg. Malu aku. Aku memang tidak mengerti masalah sepak bola. “yeay... biarin dong, kamu ini bukannya bilang malah mojokin aku. Kan malu sama yang lain. Lagi pula Gerrad jagoan kamu, mainnya lagi gak banget tuh. Mampus..” ucapku sewot
             
“Apaan sih Kany.. orang Gerrad mainnya bagus gitu. Udah deh kalau gak tau gak usah ngomong pulang aja sekalian”
             
“Oh jadi kamu ngusir? Emang ini rumah kamu? Yang punya rumah aja nyante aja. Udah deh kamu harusnya jangan sewot kayak cewek. Wajar dong kalo aku gak tau soal kayak gini. Gak mau ngalah banget”
            
 “Bukannya kamu yang mau menang sendiri? setiap masalah pasti aku yang di suruh ngalah. Tiap kita main PS, soal balap lari, tempat makan, terus masalah ini aku harus nagalah juga? Sorry..”
           
Huhhhh ... Aku jadi malu sama Aldo, Valen, Messa dan Rian. Acara nonton barengnya jadi keganngu deh.
             
“OK  kita emang sering beda argumen, beda hobi, beda karakter, beda semuanya... aku bodoh kamu pinter, kamu cakep aku jelek. Aku....” aha sial aku masih mau orasi, siapa yang membekap mulutku.
             
“mmfthdksjdsjhcbh..”
            
 “Udah ngocehnya? Kalau mau berantem, di luar aja deh. Ganggu tau, kita lagi asik nonton juga, mana ketinggalan satu gol lagi” Ujar Valen
             
Aku berangsur bangkit dan mendekati pintu utama. Aku sudah kesal. Aku mau pulang. “Gue mau pulang, makasih udah diajakin nonton” Ucapku penuh penekanan pada setiap kata yang menjadi awal perdebatan ini dimulai.
             
“biarin dia pergi... kan Cuma ganggu disini”
             
Dan sekarang aku benar-benar keluar dari rumah bercat krem ini. Kalimat terakhir yang aku denagr dari mulut kekasihku yang menurutku sangat konyol itu, sungguh menyakiti hati. Sebenarnya dimana sih otak lelaki itu, samapi membiarkan kekasihnya pulang sendiri, jalan kaki, malah hari pula.

*
             
Di pertengahan jalan, aku berhenti di pelataran sebuah gereja tua di kawasan ... ahh dimana ini? Kok aku tak pernah merasa kesini sebelumnya. Dimana ini? Apa mungkin aku tersesat?
           
Aku melangkah ragu memasuki gerbang gereja yang nampak terbuka. Aku yakin ada orang di dalamnya. Eh? Tunggu. Akukan seorang muslim. Apa boleh aku memasuki sebuah gereja? Aku hanya ingin menghangatkan diri barang sebentar kok. Sambil menuggu gerimis ini reda. Ahh... biarkan saja lah. Toh ini demi keselamatan ku juga, bukan?
             
Saat tiba di depan Pintu kayu jati yang menjulang tinggi, nyaliku entah mengapa langsung menciut. Tapi mau bagaiman lagi? Diluar dingin dan aku tidak tau jalan pulang. Perlahn kubuka pintu besar itu. Oh jadi seperti ini ya dalamnya gereja? Aku baru melihat nya lho? Deretan bangku-bangku yang tersambung sama lain, saling berjejer rapi menghadap mimbar besar dan sebuah salib berbahan  kayu yang ukurannya pun juga besar. Tapi di sini gelap. Mungkin karena sebagian lampu yang ada di biarka padam.
             
“Bunda...”
             
Tunggu! Siapa itu? Benarkah ada orang di dalam sini?
             
“Bunda... aku sungguh bersyukur dengan apa yang aku miliki sampai saat ini. Untuk segalanya aku sangat berterima kasih padamu... Pada tuhan Jesus, tapi bolehkah aku meminta kembali? Aku sangat menciantai gadisku, Bunda”
             
Orang itu nampak sedang berdo’a tentang kekasihnya. Huh.. andai saja Gabriel seperti itu mendoakanku. Karena ruangan gelap aku tidak bisa kemana-mana. Aku memutuskan untuk mendengarkan doa leleki  itu saja di deretan akhir bangku.
             
“Dia orang yang sangat baik, meskipun bodoh dan keras kepala tapi, dia sangat berarti bagiku. Entah kenapa, aku merasa akan kehilangan dia, kalau aku mengingat perbedaan yang sangat mutlak diantara kami. Keyakinan. Aku seorang kristiani dan dia seorang muslim. Aku tau itu tidak boleh terjadi bila kami bersama selamanya. Tapi, tegakah engkau melihat anakmu ini patah hati dan sakit karena hal itu?
           
JLEEBB
             
Dadaku seakan tertusuk sebilah pisau. Berbeda keyakinan? Bukankah aku dan gabriel pun demikian? Selama ini aku hanya menganggap perebdaan argumen diantara kami hanya sebatas sikap kekanak-kanakan yang dialami setiap pasangan. Tetapi perbedaan sesungguhnya terletak pada iman kita yang amat bertolak belakang. Aku bingung apakah ketidak akuran kita selama ini berasal dari perbedaan keyakinan dalam hati?
           
“Gadis itu bodoh sekali, Bunda. Selau saja dia melakuan hal bodoh yang mungkin, hanya dilakukan orang gila saja. Dia selalu mau menang sendiri dan menyuruhku mengalah. Kadang aku marah padanya, karena sikap childish-nya itu. Baru saja aku meninggalkan pertandingan Liverpool malam ini karena aku baertengkar dengannya...”
             
Childish? Mau menang sendiri? Bodoh? Bukankah itu kata-kata yang selau diaucapkan Gabriel bila sedang mengejekku. Liverpool? Dan bukankah kami sedang menonton tim sepak bola itu bertandang di kandangnya malam ini? Jangan...jangan...
             
“Kanya..”
            
 Mendengar namaku disebut aku menoleh kearah suara itu. Dan ...
           
“Gab..r..iel” Ucapku terbata melihat siluet tampan di depan mataku ini. “kamu kok..?”
            
 “Harusnya aku yang tanya, kamu ngapain di gereja? Mau berdo’a juga? Ucapnya sambil tersenyum miring. Senyum yang menandakan bahwa ia sedang meremehkanku.
           
“Jadi tadi kamu yang lagi do’a? Kok kamu bawa-bawa aku? Pake bilang aku bodoh lah, keras kepala lah, apa maksudnya? Tanyaku Sewot engan mata yang membelalak lebar.
           
“ Oh.. jadi kamu denger? Jadi, menurut mu bagaimana?”
            
 Lah ini orang kok aku yang nanya dia malah balik nanya sih? Huh
             
“Maksudmu?”
             
“Gimana dengan hubunagn kita? Jujur aku gak mau pisah dengan kamu” Ujarnya lembut sambil menyentuh pipiku mesra. Aku hanya tertunduk malu dan bingung mana jalan yang harus ku pilih. Aku pun sangat mencintai Gabriel.
             
Aku masih diam dalam dilema ku sendiri. Dalam kebingungan yang sedang melanda otak dan jiwaku.
           
 “Sepertinya..... Dan tak munkin diri kita bersama diatas perbedaan, yang selamanya mengingkari...”
             
Aku terkesiap mendengar suara lembut Gabriel. Dia menyannyi? Aduh enak-sih enak tapi terdengar sangat aneh. “Bukannya kamu bilang gak suka lagu itu? Tapi kiok hafal?” Tanyaku
             
“Yey terserah aku dong sibuk banget mikirin itu. Jadi gimana? Kita.. sam...pai di..sini? huh.. tetap saja gugup di bagian akhir.
           
Aku menghela nafas panjang membiarkan buliran-buliran atom karbon dioksida keluar dari tubuhku. Memendang lembut wajah tampan kekasihku. Aku sangat mencintai Gabriel dan ingin selalu bersamanya. Biarlah Bunda Maria dan Alloh yang menuntun kita nantinya.

 Dan tak mungkin bila ku melepasmu.. sungguh hati tak ragu, percayalah cintaku..dan tak mungkin.”

Semestinya tak ada yang memisahkan
cinta ini
karena hanya dirimu satu.. untukku

Dan biarkan rasa ini tumbuh dihati kita sampai waktu yang mengakhiri. Percayalah cinta tak akan terasa rumit meskipun segala yang ada berbeda.karena “tak mungkin ku melepasmu, meskipun kutau ini tak akan lama”

THE END
-Rulita-